Jumat, 19 Oktober 2012

Sejarah Jurnalistik di Indonesia



Di Indonesia sendiri, kegiatan dunia jurnalistik sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Pada masa-masa sebelum kemerdekaan, jurnalistik malah dipakai sebagai media propaganda yang sangat efektif dan intelek. ”Pertempuran” ide atau gagasan lebih leluasa disampaikan secara tertulis melalui media cetak.
Sejak tahun 1930-an sampai 1960-an muncul berbagai terbitan surat kabar dan majalah, seperti Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli, Wasita, Mimbar Indonesia, Suara Umum, Bintang Timur, Berita Indonesia, Sinar Harapan, Warta Bakti, Harian Rakyat, dan masih banyak lagi.
Sekarang, perkembangan  dunia jurnalistik semakin maju dan modern. Surat kabar dan majalah bersaing dengan media elektronik, seperti televisi dan internet. Akses informasi media elektronik tersebut bisa lebih cepat dibanding surat kabar. Malah, televisi atau radio bisa menyiarkan informasi atau berita tentang peristiwa yang terjadi secara langsung. Hal ini sulit dilakukan oleh media cetak.

Beberapa tokoh jurnalistik pun memiliki peran terhadap perkembangan jurnalistik Indonesia. Setidaknya kita mengenal nama Mochtar Lubis. Dia seorang sastrawan sekaligus wartawan senior. Sutan Takdir Alisjahbana yang pernah menjadi kepala redaksi Balai Pustaka dan pimpinan majalah Pujangga Baru.
Taufiq Ismail yang menggagas majalah Horison, Adinegoro yang pernah sekolah jurnalistik di Jerman dan menjadi Pemred Pewarta Deli. Sutomo yang pernah menerbitkan majalah Suluh Indonesia, Suluh Rakyat Indonesia, dan harian Suara Umum. Rosihan Anwar yang merupakan wartawan dan penulis senior dan produktif sampai sekarang.

Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.
Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.

Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Independen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.

Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi.
Seperti juga di belahan dunia lain, pers Indonesia diwarnai dengan aksi pembungkaman hingga pembredelan. Haryadi Suadi mencatat, pemberedelan pertama sejak kemerdekaan terjadi pada akhir 1940-an. Tercatat beberapa koran dari pihak Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dianggap berhaluan kiri seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengkritik pihaknya.
Jurnalisme kuning pun sempat mewarnai dunia pers Indonesia, terutama setelah Soeharto lengser dari kursi presiden. Judul dan berita yang bombastis mewarnai halaman-halaman muka koran-koran dan majalah-majalah baru. Namun tampaknya, jurnalisme kuning di Indonesia belum sepenuhnya pudar. Terbukti hingga saat ini masih ada koran-koran yang masih menyuguhkan pemberitaan sensasional semacam itu.
VN:F [1.6.8_931]










Tidak ada komentar:

Posting Komentar