Di
Indonesia sendiri, kegiatan dunia jurnalistik sudah ada sejak zaman penjajahan
Belanda. Pada masa-masa sebelum kemerdekaan, jurnalistik malah dipakai sebagai
media propaganda yang sangat efektif dan intelek. ”Pertempuran” ide atau
gagasan lebih leluasa disampaikan secara tertulis melalui media cetak.
Sejak
tahun 1930-an sampai 1960-an muncul berbagai terbitan surat kabar dan majalah,
seperti Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli, Wasita,
Mimbar Indonesia, Suara Umum, Bintang Timur, Berita
Indonesia, Sinar Harapan, Warta Bakti, Harian Rakyat,
dan masih banyak lagi.
Sekarang,
perkembangan dunia jurnalistik semakin maju dan modern. Surat kabar dan
majalah bersaing dengan media elektronik, seperti televisi dan internet. Akses
informasi media elektronik tersebut bisa lebih cepat dibanding surat kabar.
Malah, televisi atau radio bisa menyiarkan informasi atau berita tentang peristiwa
yang terjadi secara langsung. Hal ini sulit dilakukan oleh media cetak.
Beberapa tokoh jurnalistik pun memiliki peran terhadap perkembangan jurnalistik Indonesia. Setidaknya kita mengenal nama Mochtar Lubis. Dia seorang sastrawan sekaligus wartawan senior. Sutan Takdir Alisjahbana yang pernah menjadi kepala redaksi Balai Pustaka dan pimpinan majalah Pujangga Baru.
Taufiq
Ismail yang menggagas majalah Horison, Adinegoro yang pernah sekolah
jurnalistik di Jerman dan menjadi Pemred Pewarta Deli. Sutomo yang pernah
menerbitkan majalah Suluh Indonesia, Suluh Rakyat Indonesia, dan
harian Suara Umum. Rosihan Anwar yang merupakan wartawan dan penulis
senior dan produktif sampai sekarang.
Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.
Kemerdekaan
Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia menggunakan
Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan
Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah
Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.
Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Independen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.
Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi.
Seperti
juga di belahan dunia lain, pers Indonesia diwarnai dengan aksi pembungkaman
hingga pembredelan. Haryadi Suadi mencatat, pemberedelan pertama sejak
kemerdekaan terjadi pada akhir 1940-an. Tercatat beberapa koran dari pihak
Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dianggap berhaluan kiri seperti Patriot,
Buruh, dan Suara Ibu Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak
FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan
kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara
Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengkritik pihaknya.
Jurnalisme
kuning pun sempat mewarnai dunia pers Indonesia, terutama setelah Soeharto
lengser dari kursi presiden. Judul dan berita yang bombastis mewarnai
halaman-halaman muka koran-koran dan majalah-majalah baru. Namun tampaknya,
jurnalisme kuning di Indonesia belum sepenuhnya pudar. Terbukti hingga saat ini
masih ada koran-koran yang masih menyuguhkan pemberitaan sensasional semacam
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar