Dalam masyarakat ada sebagian pihak yang bertanya
apakah memang ada bahasa jurnalistik itu? Untuk apa bahasa jurnalistik?
Biasanya, mereka yang bertanya seperti itu tergolong yang punya kepedulian
terhadap seluk beluk berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Selebihnya,
masyarakat pada umumnya mengabaikan perbedaan antara bahasa jurnalistik dengan
bahasa pasar yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia pada era konvergensi media massa ini,
tidak mungkin melakukan pengembangan diri dan masyarakat tanpa mengakses
berita, fakta, ilustrasi, gagasan, dan informasi dari berbagai media komunikasi
massa baik secara tradisional maupun media massa kontemporer (Santana K.,
2005: 152).
Bermula dari abad ke-19 setelah manusia melakukan
revolusi industri, mereka menyempurnakan berbagai teknologi untuk membantu
kehidupan mereka. Antara pabrik dengan pertanian pun disambungkan. Manusia
tidak lagi hanya melakukan komunikasi antarpribadi dan kelompok. Teknologi
komunikasi mempertemukan manusia melalui industri telepon, surat kabar,
majalah, fotografi, radio, film, televisi, komputer dan satelit serta internet.
Manusia kini berada dalam abad informasi.
Bagaimana media massa mentransmisikan informasi
dan edukasi? Bagaimana media massa menjalankan fungsinya sebagai pelaku kontrol
sosial, pewaris nilai kebudayaan, penafsir berita dan penyedia hiburan? Bahkan
Marshall McLuhan mengkosmologikan era global village, kampung global. Media membuat
jutaan orang bisa “melihat dunia” secara langsung dan serentak.
Semua itu ditumbuhkan oleh para pekerja media.
Pekerjaan mereka, yang kian jadi profesi, menciptakan pesan yang kian efektif.
Dari suara elektronis yang semakin human, sampai halaman cetak dan huruf-huruf
billboard elektronis, semuanya mengakumulasi. Ini hasil trial and error pekerja
dan akdemisi ketika mengembangkan proses komunikasi massa. Mereka meneliti
unsur-unsur pesan, individu pengirim, khalayak dan berbagai efek komunikasi
massa.
Pekerja media menata pesan massal dengan
memanfaatkan ruang dan waktu teknologi media. Suara-suara elektronis “human”
memproses terpaan sampai ke bunyi mendesis dalam satuan waktu siaran. Kata-kata
cetak disusun hingga mengajak keaktifan masyarakat ke ruang-ruang imaji sosial.
Sistematika pesan dikalkulasi sampai ke rincian efek “titik dan koma”, bukan
hanya semata-mata gramatika bahasa. Pesan ditata supaya memiliki daya pikat
selera massa di berbagai ruang pengalaman dan referensi sosial.
Pers (baca: pekerja media) menjadi sebuah proses
mediasi antara masyarakat dengan “dunia”. Pers diproses oleh jurnalisme untuk
memiliki daya persuasi. Jurnalisme memrosesnya melalui tata cara mencari dan
menyebarkan informasi. Jurnalisme selalu mengembangkan teknik prliputan dan
pendistribusian pesan yang sesuai dengan kultur masyarakat. Pada proses
pengembangannya, perancangan informasi mendorong kelahiran fenomena bahasa
pers.
Bahasa pers menjadi satu alat. Bahasa, di dalam
kehidupan jurnalistik, tidak lagi sekadar sarana penghantar pesan
melainkan menjadi daya dorong lain. Dalam perkembangannya, memengaruhi kegiatan
pers sampai ke tingkat pengepingan realitas peristiwa berita. Tata nilai dan
norma bahasa jurnalistik menjadi kelembagaan bahasa yang unik, dan bila dipolakan,
menginduksi wacana masyarakat ketika menempatkan perspektif atas realitas.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga
terbitan Departemen Pendidikan Nasional, (Balai Pustaka Jakarta, 2005), dalam
Petunjuk Pemakaian Kamus halaman xxv antara lain menyatakan ragam menurut pokok
pembicaraan. Di situ diuraikan bahwa ada empat macam ragam yakni ragam bahasa
undang-undang, ragam bahasa jurnalistik, ragam bahasa ilmiah, dan ragam bahasa
sastra. Jadi memang ada bahasa jurnalistik sebagai salah satu ragam Bahasa Indonesia
berdasarkan pokok pembicaraanya seperti bahasa ilmiah dan bahasa sastra.
Bahasa jurnalistik sebagai salah satu variasi
Bahasa Indonesia tampak jelas kegunaanya bagi masyarakat yang mendengarkan
informasi dari radio setiap hari, membaca berita koran, tabloid dan majalah
setiap jam, menyaksikan tayangan televisi yang melaporkan berbagai peristiwa
yang terjadi di berbagai belahan bumi. Semua berita dan laporan itu disajikan
dalam bahasa yang mudah dipahami oleh khalayak, mereka seolah-olah diajak untuk
menyaksikan berbagai peristiwa secara langsung. Dengan demikian bahasa
jurnalistik itu menjadi bagian tak terpisahkan dalam karya jurnalistik.
Sebelum lebih jauh masuk pada pengertian bahasa
jurnalistik, perlu dijelaskan terlebih dahulu hakekat dari jurnalistik, karena
selama ini beredar pendapat di tengah masyarakat bahwa jurnalistik adalah
konsep penulisan berita semata. Pendapat ini tentu saja keliru. Sebab, seperti
disebut Richard Weiner, jurnalistik adalah keseluruhan proses pengumpulan
fakta, penulisan, penyuntingan dan penyiaran berita (Weiner 1990:247).
Pendapat keliru itu jika ditelusuri secara
historis bukanlah tanpa dasar, karena pada sejarah awal lahirnya
jurnalistik bermula pada masa Kekaisaran Romawi Kuno ketika Julius Caesar
(100-44 SM) berkuasa. Dia memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para
anggota senat setiap hari diumumkan pada papan pengumuman yang disebut “Acta
Diurna”. Dari kata “Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal
yakni kata “diurnal” dalam Bahasa Latin berarti harian atau setiap hari. (Onong
U. Effendy, 1996: 124). Sejak saat itu dikenal para diurnarii yang bekerja
membuat catatan-catatan hasil rapat dari papan Acta Diurna itu setiap hari
untuk para tuan tanah dan para hartawan. Jadi di masa Romawi Kuno pada sejarah
lahirnya jurnalistik merupakan kegiatan menyiarkan berita yang bersifat
informatif semata-mata.
Kagiatan penyebaran informasi melalui tulis
menulis semakin meluas pada masa peradaban Mesir, ketika masyarakatnya
menemukan tehnik pembuatan kertas dari serat tumbuhan yang bernama Phapyrus.
Setelah itu penyebaran informasi tertulis maju sangat pesat sejak mesin cetak
ditemukan oleh Gutternberg.
Surat kabar cetak pertama terbit dan beredar di
Cina dengan nama “King Pau” sejak tahun 911 M dan pada tahun 1351 M Kaisar
Quang Soo telah mengedarkan surat kabar itu secara teratur seminggu sekali.
Sedangkan pelopor surat kabar sebagai media berita pertama yang bernama
“Gazetta” lahir di Venesia, Negara Italia pada tahun 1536 M. Saat itu Republik
Venesia sedang perang melawan Sultan Sulaiman. Pada awalnya surat kabar ini
ditulis tangan dan para pedagang penukar uang di Rialto menulisnya dan
menjualnya dengan murah, tapi kemudian surat kabar ini dicetak.
Surat kabar cetak yang pertama kali terbit
teratur setiap hari adalah Oxford Gazzete di Inggris pada tahun 1665 M. Surat
kabar ini kemudian berganti nama menjadi London Gazzette dan ketika Henry
Muddiman menjadi editornya untuk pertama sekali dia telah menggunakan istilah
“newspaper”. Istilah inilah yang dipergunakan oleh semua orang sampai sekarang.
Di Amerika Serikat ilmu persuratkabaran mulai
berkembang sejak tahun 1690 M dengan istilah journalism dan saat itu telah
terbit surat kabar dalam bentuk yang modern, Publick Occurences Both Foreign
and Domestick, di Boston yang dimotori oleh Benjamin Harris (Brend D Ruben,
1992: 22).
Pada abad ke-17 John Milton memimpin perjuangan
kebebasan menyatakan pendapat di Inggris yang terkenal dengan Areopagitica, A
Defence of Unlicenced Printing. Sejak saat itu jurnalistik bukan saja
menyiarkan berita (to inform), tetapi juga mempengaruhi pemerintah dan
masyarakat (to influence). Perjuangan John Milton kemudian diikuti oleh John
Erskine pada abad ke-18 dengan karyanya yang berjudul “The Right of Man”. Pada
abad ke-18 ini pula lahir sistem pers liberal mengantikan sistem pers otoriter.
Di Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk
pertama kali dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max
Weber (1864 – 1920) dengan nama Zeitungskunde pada tahun 1884 M. Sedangkan di
Amerika mulai dibuka School of Journalism di Columbia University pada
tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama Joseph Pulitzer
(1847 - 1911).
Sepanjang tahun 1960-an di Amerika Serikat muncul
para perintis jurnalisme baru yang merasa bosan dengan tatakerja jurnalisme
lama yang dianggap kaku dan membatasi gerak wartawan pada tehnik penulisan dan
bentuk laporan berita. Mereka melakukan inovasi dalam penyajian dan peliputan
berita yang lebih dalam dan menyeluruh. Pada era jurnalisme baru saat ini para
wartawan dapat berfungsi menciptakan opini public dan meredam konflik yang
terjadi di tengah masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar