Jumat, 19 Oktober 2012

KODE ETIK JURNALISTIK





PEMBUKAAN


Bahwa sesungguhnya salah satu perwujudan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana diamanatkan oleh pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Oleh sebab itu kemerdekaan pers wajib dihormati oleh semua pihak.
Mengingat Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, seluruh wartawan Indonesia menjunjung tinggi konstitusi dan menegakkan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab, mematuhi norma-norma profesi kewartawanan, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta memperjuangkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila.

Maka atas dasar itu, demi tegaknya harkat, martabat, integritas, dan mutu kewartawanan Indonesia serta bertumpu pada kepercayaan masyarakat, dengan ini Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menetapkan Kode Etik Jurnalistik yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh wartawan terutama anggota PWI.

PENAFSIRAN

PEMBUKAAN


Kode Etik Jurnalistik ialah ikrar yang bersumber pada hati nurani wartawan dalam melaksanakan kemerdekaan mengeluarkan pikiran yang dijamin sepenuhnya oleh Pasal 28 UUD 1945, yang merupakan landasan konstitusional wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Kemerdekaan mengeluarkan pikiran ialah hak paling mendasar yang dimiliki setiap insan wartawan, yang wajib dijunjung tinggi dan dihormati oleh semua pihak. Sekalipun kemerdekaan mengeluarkan pikiran merupakan hak wartawan yang dijamin konstitusi, mengingat negara kesatuan Republik Indonesia ialah negara berdasarkan hukum, maka setiap wartawan wajib menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran dalam menggunakan haknya untuk mengeluarkan pikiran.

Wartawan bersama seluruh masyarakat, wajib mewujudkan prinsip-prinsip kemerdekaan pers yang profesional dan bermartabat.
Tugas dan tanggungjawab yang luhur itu hanya dapat dilaksanakan, apabila wartawan selalu berpegang teguh kepada kode etik jurnalistik, dan masyarakat memberi kepercayaan penuh serta menghargai integritas profesi tersebut.

Mengingat perjuangan wartawan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjuangan bangsa Indonesia, maka selain bertanggungjawab kepada hati nuraninya, setiap wartawan wajib bertangungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada Masyarakat, Bangsa dan Negara dalam melaksanakan hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Sadar akan hak, kewajiban dan tanggung jawabnya itu, dan untuk melestarikan kemerdekaan pers yang profesional dan bermartabat serta kepercayaan masyarakat, maka dengan ikhlas dan penuh kesadaran wartawan menetapkan kode etik jurnalistik yang wajib ditaati dan diterapkan.


BAB I

KEPRIBADIAN  DAN  INTEGRITAS


PENAFSIRAN

BAB I

KEPRIBADIAN  DAN  INTEGRITAS

Wartawan harus memiliki kepribadian dalam arti keutuhan dan keteguhan jati diri, serta integritas dalam arti jujur, adil, arif dan terpercaya.
Kepribadian dan integritas wartawan yang ditetapkan di dalam Bab I Kode Etik Jurnalistik mencerminkan tekad PWI mengembangkan dan memantapkan sosok Wartawan sebagai profesional, penegak kebenaran, nasionalis, konstitusional dan demokratis serta beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pasal 1
Wartawan beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,   berjiwa  Pancasila   taat Undang-Undang Dasar Negara RI, kesatria, bersikap independen  serta terpercaya dalam mengemban profesinya.


PENAFSIRAN

PASAL I 



1.    Semua perilaku, ucapan dan karya jurnalistik wartawan harus senantiasa dilandasi, dijiwai, digerakkan dan dikendalikan oleh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta oleh nilai-nilai luhur Pancasila, dan mencerminkan ketaatan pada Konstitusi Negara.

2.    Ciri-ciri wartawan yang kesatria, adalah :
•    Berani membela kebenaran dan keadilan;
•    Berani mempertanggungjawabkan semua tindakannya, termasuk karya jurnalistiknya;
•    Bersikap demokratis
•    Menghormati kebebasan orang lain dengan penuh santun dan tenggang rasa;
•    Dalam menegakkan kebenaran, senantiasa menjunjung tinggi harkat-martabat manusia dengan menghormati orang lain, bersikap demokratis, menunjukkan kesetiakawanan sosial.

3.    Yang dimaksud dengan mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara adalah, wartawan Indonesia sebagai makluk sosial yang bekerja bukan untuk kepentingan diri sendiri, kelompok atau golongan, melainkan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara;

4.    Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

5.    Terpercaya adalah orang yang berbudi luhur, adil, arif dan cermat, serta senantiasa mengupayakan karya terbaiknya.
Profesi adalah pekerjaan tetap yang memiliki unsur-unsur :
•      Himpunan pengetahuan dasar yang bersifat khusus;
•      Terampil dalam menerapkannya;
•      Tata cara pengujian yang obyektif;
•      Kode Etik serta lembaga pengawasan dan pelaksanaan penaatannya.


PASAL 2 

Wartawan dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang dan prasangka atau diskriminasi terhadap jenis kelamin,  orang cacat, sakit, miskin atau lemah.


PENAFSIRAN

PASAL 2



Wartawan wajib mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar dengan tolok ukur :
Yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara ialah memaparkan atau menyiarkan rahasia negara atau rahasia militer, dan berita yang bersifat spekulatif.
Mengenai penyiaran berita yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang, wartawan perlu memperhatikan kesepakatan selama ini menyangkut isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) dalam masyarakat. Tegasnya, wartawan Indonesia menghindari pemberitaan yang dapat memicu pertentangan suku, agama, ras dan antargolongan.


PASAL 3

Wartawan tidak beriktikad buruk, tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan, memutar balikkan fakta, bohong, bersifat fitnah,  cabul,  sadis, dan  sensasional.


PENAFSIRAN

PASAL 3



1. Yang  dimaksud tidak beriktikad buruk berarti tidak ada niat secara   sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
2.    Yang dimaksud dengan menyesatkan adalah berita yang membingungkan, meresahkan, membohongi, membodohi atau melecehkan kemampuan berpikir khalayak.
3.    Yang dimaksud dengan memutarbalikkan fakta, adalah mengaburkan atau mengacau-balaukan fakta tentang suatu peristiwa dan persoalan, sehingga masyarakat tidak memperoleh gambaran yang lengkap, jelas, pasti dan seutuhnya untuk dapat membuat kesimpulan dan atau menentukan sikap serta langkah yang tepat.
4.    Yang dimaksud dengan bersifat fitnah, adalah membuat kabar atau tuduhan yang tidak berdasarkan fakta atau alasan yang dapat dipertanggung jawabkan.
5.    Yang dimaksud dengan Cabul, adalah melukai perasaan susila dan berselera rendah.
6.    Yang dimaksud dengan sadis, adalah kejam, kekerasan dan mengerikan

7. Yang dimaksud dengan sensasi berlebihan, adalah memberikan gambaran yang melebihi kenyataan sehingga bisa menyesatkan.

PASAL 4

Wartawan tidak menyalahgunakan profesinya dan tidak menerima imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suar, suara dan gambar), yang dapat menguntungkan atau merugikan seseorang atau sesuatu pihak.


PENAFSIRAN

PASAL 4



1.    Yang dimaksud dengan imbalan adalah pemberian dalam bentuk materi, uang, atau fasilitas kepada wartawan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan berita dalam bentuk tulisan di media cetak, tayangan di layar televisi atau siaran di radio siaran.
Penerimaan imbalan sebagaimana dimaksud Pasal ini, adalah perbuatan tercela.
2.  Semua tulisan atau siaran yang bersifat sponsor atau pariwara di media massa harus disebut secara jelas sebagai penyiaran sponsor atau pariwara.



BAB II
CARA  PEMBERITAAN

PASAL 5

Wartawan menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan ketepatan dari kecepatan serta tidak mencampuradukkan fakta dan opini. Tulisan yang berisi interpretasi dan opini, disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.   Penyiaran karya jurnalistik rekaulang  dilengkapi dengan keterangan,  data tentang sumber rekayasa yang ditampilkan.


PENAFSIRAN


BAB II
CARA  PEMBERITAAN

PASAL 5


1.    Yang dimaksud berita secara berimbang dan adil ialah menyajikan berita yang bersumber dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan, penilaian atau sudut pandang masing-masing kasus secara proporsional.
2.    Mengutamakan kecermatan dari kecepatan, artinya setiap penulisan, penyiaran atau penayangan berita hendaknya selalu memastikan kebenaran dan ketepatan sesuatu peristiwa dan atau masalah yang diberitakan.
3.    Tidak  mencampuradukkan  fakta  dan  opini, artinya  seorang wartawan tidak menyajikan pendapatnya sebagai berita atau fakta.

Apabila suatu berita ditulis atau disiarkan dengan opini, maka berita tersebut wajib disajikan dengan menyebutkan nama penulisnya.

PASAL 6

Wartawan menghormati dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) kehidupan pribadi, kecuali menyangkut kepentingan umum.


PENAFSIRAN

PASAL 6


Pemberitaan hendaknya tidak merendahkan atau merugikan harkat-martabat, derajat, nama baik serta perasaan susila seseorang. Kecuali perbuatan itu bisa berdampak negatif bagi masyarakat.

PASAL 7


Wartawan selalu menguji informasi, menerapkan  prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang serta menghormati asas praduga tak bersalah.
Wartawan menghormati asas praduga tak bersalah, senantiasa menguji kebenaran informasi, dan menerapkan  prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang serta.



PENAFSIRAN

PASAL 7



Seseorang tidak boleh disebut atau dikesankan bersalah melakukan sesuatu tindak pidana atau pelanggaran hukum lainnya sebelum ada putusan tetap pengadilan.
Prinsip adil, artinya tidak memihak atau menyudutkan seseorang atau sesuatu pihak, tetapi secara faktual memberikan porsi yang sama dalam pemberitaan baik bagi polisi, jaksa, tersangka atau tertuduh, dan penasihat hukum maupun kepada para saksi, baik yang meringankan maupun yang memberatkan.
Jujur, mengharuskan wartawan menyajikan informasi yang sebenar-benarnya, tidak dimanipulasi, tidak diputarbalikkan.
Berimbang, tidak bersifat sepihak, melainkan memberi kesempatan yang sama kepada pihak yang berkepentingan.


PASAL 8

Wartawan  tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebut identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.


PENAFSIRAN

PASAL 8



Tidak menyebut nama dan identitas korban, artinya pemberitaan tidak memberikan petunjuk tentang siapa korban perbutan susila tersebut baik wajah, tempat kerja, anggota keluarga dan atau tempat tinggal, namun boleh hanya menyebut jenis kelamin dan umur korban. Kaidah-kaidah ini juga berlaku dalam kasus pelaku kejahatan di bawah umur (di bawah 16 tahun).

BAB III

SUMBER  BERITA
PASAL 9

Wartawan menempuh cara yang profesional, sopan dan terhormat untuk memperoleh bahan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) dan selalu menyatakan identitasnya kepada sumber berita, kecuali dalam peliputan yang bersifat investigative.


PENAFSIRAN

BAB III
SUMBER  BERITA

PASAL 9



1. Sopan, artinya  wartawan berpenampilan rapi dan bertutur kata yang baik. Juga, tidak menggiring, memaksa secara kasar, menyudutkan, a priori, dan sebagainya, terhadap sumber berita.
2. Terhormat, artinya memperoleh bahan berita dengan cara-cara yang benar, jujur dan ksatria.
3    Mencari dan mengumpulkan bahan berita secara terbuka dan terang-terangan sehingga sumber berita memberi keterangan dengan kesadaran bahwa dia turut bertanggung jawab atas berita tersebut.
(Contoh, tidak menyiarkan berita ‘hasil nguping’).
Menyatakan identitas pada dasarnya perlu untuk penulisan berita peristiwa langsung (straight news), berita ringan (soft news), karangan khas (features), dan berita pendalaman (in-depth reporting).
Untuk berita hasil penyelidikan/pengusutan (investigative reporting), pada saat pengumpulan fakta dan data wartawan boleh tidak menyebut identitasnya. Tetapi, pada saat mencari kepastian (konfirmasi) pada sumber yang berwenang, wartawan perlu menyatakan diri sedang melakukan tugas kewartawanan kepada sumber berita.


PASAL 10

Wartawan dengan kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau meralat setiap pemberitaan yang tidak akurat dengan disertai permintaan maaf, dan memberi kesempatan hak jawab secara proporsional kepada sumber atau obyek berita.


PENAFSIRAN

PASAL 10



Hak jawab diberikan pada kesempatan pertama untuk menjernihkan duduk persoalan yang diberitakan.
Pelurusan atau penjelasan tidak boleh menyimpang dari materi pemberitaan bersangkutan, dan maksimal sama panjang dengan berita sebelumnya.


PASAL 11

Wartawan harus menyebut sumber berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber berita serta meneliti kebenaran bahan berita .


PENAFSIRAN

PASAL 11



1.    Sumber berita merupakan penjamin kebenaran dan ketepatan bahan berita. Karena itu, wartawan perlu memastikan kebenaran berita dengan cara mencari dukungan bukti-bukti kuat (atau otentik) atau memastikan kebenaran dan ketepatannya pada sumber-sumber terkait.
Upaya dan proses pemastian kebenaran dan ketepatan bahan berita adalah wujud iktikad, sikap dan perilaku jujur dan adil setiap wartawan profesional.
2.    Sumber berita dinilai memiliki kewenangan bila memenuhi syarat-syarat:
Kesaksian langsung.
Ketokohan/Keterkenalan
Pengalaman.
Kedudukan/jabatan terkait.
Keahlian.


PASAL 12

Wartawan tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip karya jurnalistik tanpa menyebut sumbernya.



PENAFSIRAN

PASAL 12


Mengutip berita, tulisan atau gambar hasil karya pihak lain tanpa menyebut sumbernya merupakan tindakan plagiat, tercela dan dilarang.

PASAL 13


Wartawan dalam menjalankan profesinya memiliki hak tolak untuk melindungi identitas dan keberadaan narasumber yag tidak ingin diketahui.  Segala tanggung jawab akibat penerapan hak tolak ada pada wartawan yang bersangkutan.

PENAFSIRAN

PASAL 13



1.    Nama atau identitas sumber berita perlu disebut, kecuali atas permintaan sumber berita itu untuk tidak disebut nama atau identitasnya sepanjang menyangkut fakta lapangan (empiris) dan data.
2.    Wartawan mempunyai hak tolak, yaitu hak untuk tidak mengungkapkan nama dan identitas sumber berita yang dilindunginya.
3.    Terhadap sumber berita yang dilindungi nama dan identitasnya hanya disebutkan “menurut sumber —-“ (tetapi tidak perlu menggunakan kata-kata “menurut sumber yang layak dipercaya”). Dalam hal ini, wartawan bersangkutan bertanggungjawab penuh atas pemuatan atau penyiaran berita tersebut.


PASAL 14


Wartawan menghormati ketentuan embargo, bahan latar belakang, dan tidak menyiarkan informasi yang oleh sumber berita tidak dimaksudkan sebagai bahan berita serta tidak menyiarkan keterangan “off the record”.

PENAFSIRAN

PASAL 14


1.    Embargo, yaitu permintaan menunda penyiaran suatu berita sampai batas waktu yang ditetapkan oleh sumber berita, wajib dihormati.
2.    Bahan latar belakang adalah informasi yang tidak dapat disiarkan langsung dengan menyebutkan identitas sumber berita, tetapi dapat digunakan sebagai bahan untuk dikembangkan dengan penyelidikan lebih jauh oleh wartawan bersangkutan, atau dijadikan dasar bagi suatu karangan atau ulasan yang merupakan tanggung jawab wartawan bersangkutan sendiri.

3.    Keterangan “off the record” atau keterangan bentuk lain yang mengandung arti sama diberikan atas perjanjian antara sumber berita dan wartawan bersangkutan dan tidak disiarkan.
Untuk menghindari salah faham, ketentuan “off the record” harus dinyatakan secara tegas oleh sumber berita kepada wartawan bersangkutan.
Ketentuan tersebut dengan sendirinya tidak berlaku bagi wartawan yang dapat membuktikan telah memperoleh bahan berita yang sama dari sumber lain tanpa dinyatakan sebagai “off the record”.


BAB IV
KEKUATAN KODE ETIK JURNALISTIK

PASAL 15

Wartawan harus dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Jurnalistik PWI (KEJ-PWI) dalam melaksanakan profesinya.


PENAFSIRAN

BAB IV
KEKUATAN  KODE  ETIK  JURNALISTIK

PASAL 15


Kode Etik Jurnalistik dibuat oleh wartawan, dari dan untuk wartawan sebagai acuan moral dalam menjalankan tugas kewartawanannya dan berikrar untuk menaatinya.

PASAL 16

Wartawan menyadari sepenuhnya bahwa penaatan Kode Etik Jurnalistik ini terutama berada pada hati nurani masing-masing.


PENAFSIRAN

PASAL 16


Penaatan dan pengamalan kode etik jurnalistik bersumber dari hati nurani masing-masing wartawan.

PASAL 17

Wartawan mengakui bahwa pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik ini adalah sepenuhnya hak organisasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan PWI.

Tidak satu pihakpun diluar PWI yang dapat mengambil tindakan terhadap wartawan dan atau medianya berdasar pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik ini.

PENAFSIRAN

PASAL 17



1.     Kode Etik Jurnalistik ini merupakan pencerminan adanya kesadaran profesional. Hanya PWI yang berhak mengawasi pelaksanaannya dan atau    menyatakan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh  wartawan serta menjatuhkan sanksi atas wartawan bersangkutan.
2.    Pelanggaran kode etik jurnalistik tidak dapat dijadikan dasar pengajuan gugatan pidana maupun perdata.

Dalam hal pihak luar menyatakan keberatan terhadap penulisan atau penyiaran suatu berita, yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada PWI melalui Dewan Kehormatan PWI. Setiap pengaduan akan ditangani oleh Dewan Kehormatan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam pasal-pasal 22, 23, 24, 25, 26  dan 27 Peraturan Rumah Tangga PWI.


Berita : Televisi Indonesia Hadirkan Program Sains, Teknologi, dan Lingkungan











JAKARTA, KOMPAS.com -- Program televisi berbahasa Indonesia pertama dari Inovator dari Deutsche Welle (DW) disiarkan oleh TVRI, Bali TV, Radar TV, Banten TV, dan Tempo TV secara mingguan. Program Inovator menghadirkan berbagai pengetahuan dalam bidang sains, teknologi, dan lingkungan.
Inovator merupakan acara televisi berdurasi 26 menit yang menampilkan berbagai macam topik, termasuk sains, teknologi dan lingkungan, dengan penekanan khusus pada berbagai perkembangan terkini, inovasi dan riset dalam bidang kesehatan dan obat-obatan.

Selain menghadirkan berbagai pengetahuan menarik, pembawa cara Inovator, Putu Ziphora, yang telah bergabung dengan DW selama tujuh tahun, juga akan melaporkan berbagai aspek kehidupan sehari-hari di Jerman dan ulasan mengenai fakta-fakta menarik mengenai perbedaan di Jerman dan Indonesia.
Dengan menghadirkan program Inovator dalam rangkaian acara mereka, para mitra televisi lokal telah menghadirkan acara yang unik berupa cara pandang masyarakat Eropa terhadap berbagai isu internasional dan perkembangan terkini, bagi pemirsa di Indonesia.

"Inovator merupakan prestasi bagi DW dalam hal kreasi konten, dan kami sangat gembira dengan hasil yang dicapai. Kami sangat yakin Inovator akan terus mendapat sambutan yang baik di Indonesia karena menghadirkan acara televisi yang menghibur dan mendidik, di mana DW sudah sangat dikenal dalam dua bidang tersebut," kata Petra Schneider, Director of Distribution DW, Jumat (19/10/2012).

Konten multimedia dari seri acara Inovator dapat juga diakses secara online di www.dw.de/indonesia atau melalui program siaran mitra televisi lokal di Indonesia. Acara inovator juga akan dipromosikan melalui media jejaring sosial seperti YouTube, Facebook, dan Twitter.

Fenomena








REPUBLIKA.CO.ID, PADANG---Meski termasuk negara tropis, ternyata Indonesia pun bisa mengalami badai salju. Tidak percaya? Itulah yang terjadi ketika puluhan rumah warga mengalami kerusakan akibat dihantam badai salju yang melanda Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat (Sumbar). "Badai salju melanda Kabupaten Sijunjung pada Rabu (28/3) sekitar pukul 20.00 WIB mengakibatkan puluhan rumah mengalami kerusakan, "kata Kabid Penanggulangan Bencana BPBD Sumbar Ade Edwar di Padang, Kamis (29/3).


Menurutnya, berdasarkan data sementara diperoleh BPBD Sumbar, dimana 48 unit rumah atapnya beterbangan, dua unit rumah hancur berantakan. "Selain puluhan rumah warga rusak, badai salju juga merusak beberapa unit bangunan Sekolah Dasar (SD), tiga lokal belajar dan beberapa atapnya beterbangan, serta satu unit rumah dinas sekolah," katanya.

Dia menambahkan, badai salju yang melanda Kabupaten Sijunjung itu tidak menimbulkan korban jiwa, hanya mengalami kerugian materil. "BPBD masih melakukan penghitungan berapa kerugian harta benda ketika badai salju itu,"katanya.
Dia mengatakan, badai salju yang melanda Kabupaten Sijunjung hingga merusak puluhan rumah tersebut merupakan yang pertama kali terjadi di Sumbar. "Badai salju ini tidak pernah terjadi, ini merupakan pertama kali terjadi di Sumbar,"katanya.
Menurutnya, warga yang rumahnya mengalami kerusakan akibat dihantam badai salju telah dievakuasi ke tempat yang dirasakan aman. "BPBD telah mendirikan berapa unit tenda darurat bagi warga yang mengungsi, sementara itu bantuan akan segera dikirimkan,"katanya.

Dia menambahkan, untuk sementara aktivitas warga yang berada di Kabupaten Sijunjung masih belum pulih akibat badai salju yang melanda. "Masyarakat Kabupaten Sinjunjung masih merasakan khawatir jika badai salju susulan kembali terjadi, mereka berharap pemeerintah cepat memberikan bantuan,"katanya.




Sejarah Jurnalistik di Dunia


Dalam masyarakat ada sebagian pihak yang bertanya apakah memang ada bahasa jurnalistik itu? Untuk apa bahasa jurnalistik? Biasanya, mereka yang bertanya seperti itu tergolong yang punya kepedulian terhadap seluk beluk berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Selebihnya, masyarakat pada umumnya mengabaikan perbedaan antara bahasa jurnalistik dengan bahasa pasar yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Manusia pada era konvergensi media massa ini, tidak mungkin melakukan pengembangan diri dan masyarakat tanpa mengakses berita, fakta, ilustrasi, gagasan, dan informasi dari berbagai media komunikasi massa baik secara tradisional maupun media massa kontemporer  (Santana K., 2005: 152).
Bermula dari abad ke-19 setelah manusia melakukan revolusi industri, mereka menyempurnakan berbagai teknologi untuk membantu kehidupan mereka. Antara pabrik dengan pertanian pun disambungkan. Manusia tidak lagi hanya melakukan komunikasi antarpribadi dan kelompok. Teknologi komunikasi mempertemukan manusia melalui industri telepon, surat kabar, majalah, fotografi, radio, film, televisi, komputer dan satelit serta internet. Manusia kini berada dalam abad informasi.

Bagaimana media massa mentransmisikan informasi dan edukasi? Bagaimana media massa menjalankan fungsinya sebagai pelaku kontrol sosial, pewaris nilai kebudayaan, penafsir berita dan penyedia hiburan? Bahkan Marshall McLuhan mengkosmologikan era global village, kampung global. Media membuat jutaan orang bisa “melihat dunia” secara langsung dan serentak.
Semua itu ditumbuhkan oleh para pekerja media. Pekerjaan mereka, yang kian jadi profesi, menciptakan pesan yang kian efektif. Dari suara elektronis yang semakin human, sampai halaman cetak dan huruf-huruf billboard elektronis, semuanya mengakumulasi. Ini hasil trial and error pekerja dan akdemisi ketika mengembangkan proses komunikasi massa. Mereka meneliti unsur-unsur pesan, individu pengirim, khalayak dan berbagai efek komunikasi massa.

Pekerja media menata pesan massal dengan memanfaatkan ruang dan waktu teknologi media. Suara-suara elektronis “human” memproses terpaan sampai ke bunyi mendesis dalam satuan waktu siaran. Kata-kata cetak disusun hingga mengajak keaktifan masyarakat ke ruang-ruang imaji sosial. Sistematika pesan dikalkulasi sampai ke rincian efek “titik dan koma”, bukan hanya semata-mata gramatika bahasa. Pesan ditata supaya memiliki daya pikat selera massa di berbagai ruang pengalaman dan referensi sosial.

Pers (baca: pekerja media) menjadi sebuah proses mediasi antara masyarakat dengan “dunia”. Pers diproses oleh jurnalisme untuk memiliki daya persuasi. Jurnalisme memrosesnya melalui tata cara mencari dan menyebarkan informasi. Jurnalisme selalu mengembangkan teknik prliputan dan pendistribusian pesan yang sesuai dengan kultur masyarakat. Pada proses pengembangannya, perancangan informasi mendorong kelahiran fenomena bahasa pers.

Bahasa pers menjadi satu alat. Bahasa, di dalam kehidupan jurnalistik, tidak lagi sekadar sarana penghantar  pesan melainkan menjadi daya dorong lain. Dalam perkembangannya, memengaruhi kegiatan pers sampai ke tingkat pengepingan realitas peristiwa berita. Tata nilai dan norma bahasa jurnalistik menjadi kelembagaan bahasa yang unik, dan bila dipolakan, menginduksi wacana masyarakat ketika menempatkan perspektif atas realitas.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga terbitan Departemen Pendidikan Nasional, (Balai Pustaka Jakarta, 2005), dalam Petunjuk Pemakaian Kamus halaman xxv antara lain menyatakan ragam menurut pokok pembicaraan. Di situ diuraikan bahwa ada empat macam ragam yakni ragam bahasa undang-undang, ragam bahasa jurnalistik, ragam bahasa ilmiah, dan ragam bahasa sastra. Jadi memang ada bahasa jurnalistik sebagai salah satu ragam Bahasa Indonesia berdasarkan pokok pembicaraanya seperti bahasa ilmiah dan bahasa sastra.

Bahasa jurnalistik sebagai salah satu variasi Bahasa Indonesia tampak jelas kegunaanya bagi masyarakat yang mendengarkan informasi dari radio setiap hari, membaca berita koran, tabloid dan majalah setiap jam, menyaksikan tayangan televisi yang melaporkan berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai belahan bumi. Semua berita dan laporan itu disajikan dalam bahasa yang mudah dipahami oleh khalayak, mereka seolah-olah diajak untuk menyaksikan berbagai peristiwa secara langsung. Dengan demikian bahasa jurnalistik itu menjadi bagian tak terpisahkan dalam karya jurnalistik.
Sebelum lebih jauh masuk pada pengertian bahasa jurnalistik, perlu dijelaskan terlebih dahulu hakekat dari jurnalistik, karena selama ini beredar pendapat di tengah masyarakat bahwa jurnalistik adalah konsep penulisan berita semata. Pendapat ini tentu saja keliru. Sebab, seperti disebut Richard Weiner, jurnalistik adalah keseluruhan proses pengumpulan fakta, penulisan, penyuntingan dan penyiaran berita (Weiner 1990:247).

Pendapat keliru itu jika ditelusuri secara historis bukanlah tanpa dasar, karena pada sejarah awal lahirnya jurnalistik  bermula pada masa Kekaisaran Romawi Kuno ketika Julius Caesar (100-44 SM) berkuasa. Dia memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan pada papan pengumuman yang disebut “Acta Diurna”. Dari kata “Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata “diurnal” dalam Bahasa Latin berarti harian atau setiap hari. (Onong U. Effendy, 1996: 124). Sejak saat itu dikenal para diurnarii yang bekerja membuat catatan-catatan hasil rapat dari papan Acta Diurna itu setiap hari untuk para tuan tanah dan para hartawan. Jadi di masa Romawi Kuno pada sejarah lahirnya  jurnalistik merupakan kegiatan menyiarkan berita yang bersifat informatif semata-mata.

Kagiatan penyebaran informasi melalui tulis menulis semakin meluas pada masa peradaban Mesir, ketika masyarakatnya menemukan tehnik pembuatan kertas dari serat tumbuhan yang bernama Phapyrus. Setelah itu penyebaran informasi tertulis maju sangat pesat sejak mesin cetak ditemukan oleh Gutternberg.
Surat kabar cetak pertama terbit dan beredar di Cina dengan nama “King Pau” sejak tahun 911 M dan pada tahun 1351 M Kaisar Quang Soo telah mengedarkan surat kabar itu secara teratur seminggu sekali. Sedangkan pelopor surat kabar sebagai media berita pertama yang bernama “Gazetta” lahir di Venesia, Negara Italia pada tahun 1536 M. Saat itu Republik Venesia sedang perang melawan Sultan Sulaiman. Pada awalnya surat kabar ini ditulis tangan dan para pedagang penukar uang di Rialto menulisnya dan menjualnya dengan murah, tapi kemudian surat kabar ini dicetak.
Surat kabar cetak yang pertama kali terbit teratur setiap hari adalah Oxford Gazzete di Inggris pada tahun 1665 M. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi London Gazzette dan ketika Henry Muddiman menjadi editornya untuk pertama sekali dia telah menggunakan istilah “newspaper”. Istilah inilah yang dipergunakan oleh semua orang sampai sekarang.
Di Amerika Serikat ilmu persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M dengan istilah journalism dan saat itu telah terbit surat kabar dalam bentuk yang modern, Publick Occurences Both Foreign and Domestick, di Boston yang dimotori oleh Benjamin Harris (Brend D Ruben, 1992: 22).
Pada abad ke-17 John Milton memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat di Inggris yang terkenal dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing. Sejak saat itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi juga mempengaruhi pemerintah dan masyarakat (to influence). Perjuangan John Milton kemudian diikuti oleh John Erskine pada abad ke-18 dengan karyanya yang berjudul “The Right of Man”. Pada abad ke-18 ini pula lahir sistem pers liberal mengantikan sistem pers otoriter.

Di Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama Zeitungskunde pada tahun 1884 M. Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of Journalism di Columbia University pada tahun   1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama Joseph Pulitzer (1847 -  1911).
Sepanjang tahun 1960-an di Amerika Serikat muncul para perintis jurnalisme baru yang merasa bosan dengan tatakerja jurnalisme lama yang dianggap kaku dan membatasi gerak wartawan pada tehnik penulisan dan bentuk laporan berita. Mereka melakukan inovasi dalam penyajian dan peliputan berita yang lebih dalam dan menyeluruh. Pada era jurnalisme baru saat ini para wartawan dapat berfungsi menciptakan opini public dan meredam konflik yang terjadi di tengah masyarakat.


Sejarah Jurnalistik di Indonesia



Di Indonesia sendiri, kegiatan dunia jurnalistik sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Pada masa-masa sebelum kemerdekaan, jurnalistik malah dipakai sebagai media propaganda yang sangat efektif dan intelek. ”Pertempuran” ide atau gagasan lebih leluasa disampaikan secara tertulis melalui media cetak.
Sejak tahun 1930-an sampai 1960-an muncul berbagai terbitan surat kabar dan majalah, seperti Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli, Wasita, Mimbar Indonesia, Suara Umum, Bintang Timur, Berita Indonesia, Sinar Harapan, Warta Bakti, Harian Rakyat, dan masih banyak lagi.
Sekarang, perkembangan  dunia jurnalistik semakin maju dan modern. Surat kabar dan majalah bersaing dengan media elektronik, seperti televisi dan internet. Akses informasi media elektronik tersebut bisa lebih cepat dibanding surat kabar. Malah, televisi atau radio bisa menyiarkan informasi atau berita tentang peristiwa yang terjadi secara langsung. Hal ini sulit dilakukan oleh media cetak.

Beberapa tokoh jurnalistik pun memiliki peran terhadap perkembangan jurnalistik Indonesia. Setidaknya kita mengenal nama Mochtar Lubis. Dia seorang sastrawan sekaligus wartawan senior. Sutan Takdir Alisjahbana yang pernah menjadi kepala redaksi Balai Pustaka dan pimpinan majalah Pujangga Baru.
Taufiq Ismail yang menggagas majalah Horison, Adinegoro yang pernah sekolah jurnalistik di Jerman dan menjadi Pemred Pewarta Deli. Sutomo yang pernah menerbitkan majalah Suluh Indonesia, Suluh Rakyat Indonesia, dan harian Suara Umum. Rosihan Anwar yang merupakan wartawan dan penulis senior dan produktif sampai sekarang.

Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.
Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.

Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Independen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.

Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi.
Seperti juga di belahan dunia lain, pers Indonesia diwarnai dengan aksi pembungkaman hingga pembredelan. Haryadi Suadi mencatat, pemberedelan pertama sejak kemerdekaan terjadi pada akhir 1940-an. Tercatat beberapa koran dari pihak Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dianggap berhaluan kiri seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengkritik pihaknya.
Jurnalisme kuning pun sempat mewarnai dunia pers Indonesia, terutama setelah Soeharto lengser dari kursi presiden. Judul dan berita yang bombastis mewarnai halaman-halaman muka koran-koran dan majalah-majalah baru. Namun tampaknya, jurnalisme kuning di Indonesia belum sepenuhnya pudar. Terbukti hingga saat ini masih ada koran-koran yang masih menyuguhkan pemberitaan sensasional semacam itu.
VN:F [1.6.8_931]










Jumat, 05 Oktober 2012

Tugas Kepariwisataan


Definisi Kepariwisataan

II. Pengertian Kepariwisataan

Bagi Anda yang telah mengalami “asam-garam” di bidang kepariwisataan pengertian dasar kepariwisataan bukan lagi merupakan masalah. Namun kami yakin banyak di antara kita yang masih belum faham berbagai istilah kepariwisataan yang acapkali kita jumpai sehari-hari, merupakan hal yang menimbulkan pengertian yang “kisruh”. Lihat saja contoh di bawah ini.
Salah satu istilah yang digunakan secara “resmi” sebagai nama sebuah kementerian, yaitu Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang berwenang menangani “kebudayaan” dan “kepariwisataan“, tidak menggunakan istilah “kepariwisataan” melainkan “pariwisata“, berbeda halnya dengan istilah “kebudayaan” yang digunakannya secara berdampingan. Sementara itu Undang-undang no. 10/Th 2009 (UU no.10/2009) disebutnya sebagai Undang-undang tentang “Kepariwisataan”. Di samping itu, kita sering mendengar dan membaca adanya istilah “obyek wisata” dan “atraksi wisata“. Oleh karena itu tidaklah heran jika banyak pihak yang mempertanyakan akan perbedaan antara wisata, pariwisata dan kepariwisataan. Atas dasar apa pilihan istilah wisata, pariwisata dan kepariwisataan itu digunakan?
Dengan diundangkannya UU no.10/2009 tentang Kepariwisataan, diharapkan penggunaan istilah-istilah itu dilakukan lebih tertib sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa sehingga tidak lagi menimbulkan pengertian yang membingungkan. Di dalam BAB I Ketentuan Umum UU no.10/2009 ditetapkan berbagai ketentuan yang terkait dengan kepariwisataan, di antaranya sebagai berikut.

1). Pengertian Istilah
Kata ‘pariwisata’ telah berhasil dipopulerkan, pada mulanya diperkenalkan oleh Menteri PDPTP (Perhubungan, Pos, Telekomunikasi & Pariwisata), pada waktu itu Let.Jen. Djatikusumo, dalam kesempatan Musyawarah Nasional Tourisme II di Tretes, Jawa Timur, pada tahun 1958.
Diperkenalkannya istilah ‘pariwisata’ dimaksudkan sebagai pengganti ‘tourisme’ (Belanda, Perancis) atau ‘tourism’ (Inggris).
Bila diuraikan menurut arti-katanya, maka ‘pariwisata’ yang berasalkan kata ‘pari’ dan ‘wisata’ dari bahasa Sansekerta, akan berarti sebagai berikut:
Pari        = seringkali, berulangkali/berkali-kali; dapat juga berarti ‘umum’ (bandingkan dengan: sidang ‘paripurna’ = sidang umum & lengkap, – umum masalahnya yang dibicarakan dan lengkap anggotanya yang hadir -, bermakna sama dengan “sidang pleno, plenary session/meeting”);
Wisata        = pergi (to go, kata kerja), bepergian (to travel, kata kerja); dapat juga berarti ‘perjalanan’ (travel, kata benda);
Pariwisata    = beberapa perjalanan yang dilakukan secara bersambung/ berantai dari satu tempat ke tempat berikutnya dan diakhiri di tempat keberangkatan (=tour, perjalanan keliling);
Sebagaimana lazim dalam bahasa Indonesia, pembubuhan awalan ‘ke-’ dan akhiran ‘-an’ memberikan arti yang lebih luas kepada asal katanya, seperti ‘seni’ menjadi ‘kesenian’, ‘budaya’ menjadi ‘kebudayaan’. Dalam bahasa Belanda dan Inggris, masing-masing membubuhkan akhiran ‘-isme’ dan      ‘-ism’, seperti ‘hinduism’, ‘budhism’.
Maka atas dasar faham tersebut, ‘tourisme’ atau ‘tourism’ sebetulnya lebih tepat digantikan dengan ‘kepariwisataan’;
Secara ringkas dapatlah tersusun beberapa istilah seperti berikut:
·                     Wisata                     = bepergian (to travel); perjalanan (travel);
·                     Wisatawan             = orang yang bepergian (traveler);
·                     Para Wisatawan   = wisatawan-wisatawan, orang-orang yang bepergian (travelers);
·                     Pariwisata              = perjalanan keliling (tour);
·                     Kepariwisataan    = hal-hal yang menyangkut, – terkait dengan -, pariwisata (tourism);
·                     Pariwisatawan       = orang yang melakukan perjalanan keliling (tourist);
·                     Para Pariwisatawan     =    pariwisatawan-pariwisatawan, orang-orang yang melakukan perjalanan keliling (tourists);
Pada prakteknya penggunaan istilah-istilah tersebut seringkali dikacaukan satu dengan lainnya, seperti seringkali kata ‘pariwisata’ digunakan sebagai sinonim dari ‘kepariwisataan’. Demikian pula kata ‘wisatawan’ acapkali digunakan sebagai sinonim dari ‘pariwisatawan’ atau tourist, bahkan tidak jarang digunakan pula sebagai sinonim dari ‘pengunjung’ atau visitor.
(2). Pengertian ilmiah
Yang dimaksud dengan pengertian ilmiah di sini adalah pengertian yang dinyatakan dalam bentuk definisi, yang dapat memberikan jawaban atas pertanyaan “Apa sebenarnya kepariwisataan itu?”
Dari sekian banyak definisi, dapat diambil kesimpulan bahwa di dalam pengertian ‘kepariwisataan’ terkandung adanya tiga fikiran dasar mengenai:
·                     Adanya ‘gerak’, – perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya;
·                     Adanya ‘jeda’, – perhentian untuk sementara waktu (bukan untuk menetap), daripada orang-orang yang bergerak tersebut, di satu  atau beberapa tempat yang bukan tempat tinggalnya;
·                     Persinggahan dan/atau kunjungan tersebut tidak untuk mencari nafkah.
Dengan bertolak dari tiga fikiran dasar tersebut dapatlah disusun suatu definisi yang dapat mencakup pengertian yang lebih luas dan bersifat flexible, dapat digunakan untuk berbagai maksud, sebagai berikut.
Kepariwisataan adalah gejala-gejala yang menyangkut lalulintas manusia, berikut barang bawaannya, yang melakukan perjalanan untuk tujuan apa pun sepanjang tidak untuk maksud-maksud menetap serta memangku suatu jabatan dengan memperoleh upah dari tempat yang dikunjunginya.
Bila kepariwisataan (tourism) adalah gejala-gejala mengenai lalulintas manusia, maka pariwisatawan (tourist) adalah orang-orangnya yang berlalulintas, sehingga dapat dinyatakan bahwa:
Pariwisatawan,    adalah orang yang malakukan perjalanan untuk tujuan apapun sepanjang tujuannya tidak untuk maksud-maksud menetap dan memangku suatu jabatan dengan memperoleh upah dari tempat yang dikunjunginya, paling sedikit tinggal selama 24 jam di tempat ia berkunjung tersebut.
Landasan pemikiran daripada definisi tersebut di atas adalah definisi yang dianjurkan oleh IUOTO (International Union of Official Travel Organizations – yang sekarang bernama WTO, World Tourism Organization) dalam rekomendasinya kepada Komisi Statistik PBB, sebagai hasil konferensi mengenai perjalanan dan pariwisata internasional (The United Nations Conference on International Travel and Tourism) di Roma, 21 Agustus – 5 September 1963.
IUOTO memberikan definisi tersebut dalam hubungannya dengan maksud-maksud statistik, yang digunakan juga oleh Indonesia, sebagai berikut:
Untuk maksud-maksud statistik, dengan istilah “pengunjung” (visitor) dimaksudkan:
“Setiap orang yang berkunjung ke suatu negara selain dari negara di mana ia biasanya bertempat tinggal, untuk tujuan apapun selain untuk maksud memangku jabatan dengan memperoleh upah dari negara yang dikunjunginya”.

Pada hakekatnya, penghitungan pengunjung tidak dilakukan berdasarkan jumlah orang, melainkan jumlah kunjungan (visit).
Dengan demikian seseorang dapat dihitung lebih dari satu kali kunjungan. Misalnya seorang melakukan kunjungan tiga kali dalam setahun, maka pengunjungnya = 1;



II. Pengertian Kepariwisataan

Pengertian dan Definisi Pariwisata
Istilah pariwisata berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari 2 kata, yaitu kata “Pari” berarti berkeliling atau bersama dan kata “wisata” berarti perjalanan. Menurut Soetomo (1994:25) yang di dasarkan pada ketentuan WATA (World Association of Travel Agent = Perhimpunan Agen Perjalanan Sedunia), wisata adalah perjalanan keliling selama lebih dari tiga hari, yang diselenggarakan oleh suatu kantor perjalanan di dalam kota dan acaranya antara lain melihat-lihat di berbagai tempat atau kota baik didalam maupun diluar        negeri.
·         Menurut A.J. Burkart dan S. Medik (1987)
Pariwisata adalah perpindahan orang untuk sementara dan dalam jangka waktu pendek ke tujuan- tujuan diluar tempat dimana mereka biasanya hidup dan bekerja dan kegiatan-kegiatan mereka selama tinggal di tempat-tempat tujuan itu.
·         Menurut Hunziger dan krapf dari swiss dalam Grundriss Der Allgemeinen Femderverkehrslehre
menyatakan pariwisata adalah keseluruhan jaringan dan gejala-gejala yang berkaitan dengan tinggalnya orang asing disuatu tempat dengan syarat orang tersebut tidak melakukan suatu pekerjaan yang penting (Major Activity) yang memberi keuntungan yang bersifat permanen maupun sementara.
·         Menurut Prof. Salah Wahab dalam Oka A Yoeti (1994, 116.)
 Pariwisata adalah suatu aktivitas manusia yang dilakukan secara sadar yang mendapat pelayanan secara bergantian diantara orang-orang dalam suatu negara itu sendiri atau diluar negeri, meliputi pendiaman orang-orang dari daerah lain untuk sementara waktu mencari kepuasan yang beraneka ragam dan berbeda dengan apa yang dialaminya, dimana ia memperoleh pekerjaan tetap.
Jadi pengertian pariwisata adalah perjalanan keliling dari suatu tempat ke tempat lain. Kepariwisataan adalah merupakan kegiatan jasa yang memanfaatkan kekayaan alam dan lingkungan hidup yang kasih seperti hasil budaya peninggalan sejarah, pemandangan alam yang indah dan iklim yang nyaman.


Sumber : http://tha1903.blogspot.com/2010/09/pengertian-pariwisata.html


Kesimpulan : Kepariwisataan itu merupakan kegiatan yang memanfaatkan kekayaan alam dan lingkungan hidup untuk dipergunakan sebaik-baiknya, dalam hal ilmiah maupun materi. Kepariwisataan juga dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan bagi sebuah negara, karena suatu negara bisa memanfaatkan keadaan negaranya yang mempunyai kepariwisataan yang menakjubkan untuk menarik para wisatawan mengunjungi negara tersebut. 


Risza Kurnia Sari
16610067
3SA04